Call Us : ( +62 ) 856 119 5711
every day 24 hour
Monday, 30 March 2015

Philosphy of Batik Jlamprang ( English and Indonesia )

Philosphy of Batik Jlamprang ( English and Indonesia )

Jlamprang and the History
Batik pattern Jlamprang  is derived from Pekalongan ( famous as World City of Batik ) In Yogyakarta, a similar pattern named Nitik.. Jlamprang pattern is one that is quite popular batik produced in Krapyak Pekalongan. This is a development of batik fabric pattern from Indian Potola geometric shaped or star-shaped eyes sometimes wind and using the twig ends rectangular. Jlamprang pattern is immortalized as one of the streets in Pekalongan.

 At the time of traders from Gujarat (India) came on the north coast of Java, they brought silk fabrics and materials typical of Gujarat in merchandise. Motifs and geometric shape and the fabric is very beautiful, made with a technique called double ikat patola (sembagi or polikat), known in Java as cinde cloth. The colors used are red and indigo blue.

 Patola motifs inspired batik in coastal and inland areas, even the palace. In Pekalongan batik fabrics created called Jlamprang, patterned fried with distinctive colors Pekalongan. Inspired by woven pattern, the motif is created consisting of squares and rectangles are arranged such that describe woven webbing found on patola.

Jlamprang fabric developed in coastal areas, so that the colors also vary, according to taste consumers who mostly came from Europe, China, and other countries. The dominant color used is rnerah, green, blue and yellow, although still also use the color Soga and wedelan.

 There is also the opinion if pattern Jlamprang a batik pattern developed by Arabs for Arabs generally Moslems do not want to use ornaments shaped living objects, such as animals or birds. They prefer decorative geometric shape. There is an Arab vilage near Krapyak Pekalongan is Arab village called Klego, decorative rectangular boxes or triangles and the like. Beauty Jlamprang motif lies in the decoration that illustrates the consistency and constancy.

 Jlamprang pattern is original batik Pekalongan society as heir to the cosmological explores ceplokan ornaments in the form of scrolls and lotus flowers, and in the center is crossed by the image of the cosmic world role that comes from Hinduism and Buddhism developed in Java.

Distilirasasi ceplokan pattern in the form of decorative show patterns of prehistoric relics which later became the heritage of Hinduism and Buddhism. Jlamprang have bright colors. Jlamprang motif is Shiva Hindu cultural influence.

 Decorative pattern in the form of archetypal ceplokan lunglungan shaped with ornamental lotus pattern amid the Jlamprang allegedly a pattern derived from prehistoric times, the later time adopted by Hindu and Buddhist culture. In the Tantric Hinduism, there is what is called Syaiwapaksa (arrow weapon god Shiva), who uses chakra symbol in the form of arrows, is also a meditation icon of Lord Shiva. While the lotus flower itself has a meaning in Hindu-Buddhist beliefs as a symbol of life.

Jlamprang and myth ...

In mythology the queen of Java, preferred Jlamprang rulers of the North Sea is Den Ayu Lanjar / Dewi Lanjar ( lanjar is widow without children). In relation to Jlamprang as a medium of expression, the first batik has been used as a sacred object (sacred batik). In the past to the present, has become batik Jlamprang profane (general) and not sacred anymore. However, some people still include Batik Pekalongan Jlamprang as part of ceremonial objects in an effort to preserve the mystical culture associated with nyadran ceremony, which is a sacrifice in the sea to express gratitude to the ruler of nature (God). According to the people Pekalongan, the tools in the ceremony included motif Jlamprang intended as an offering to the Sea Queen Den Ayu Lanjar. Until now, Batik Jlamprang still produced with a combination of a variety of motives.

 In relation to the use of Pattern Jlamprang as ceremonial objects, cosmologically are on the road to the world (the world of the Gods). Tantric is one of the cult of the god Shiva and the community using the ancient Pekalongan batik pattern Jlamprang as ceremonial objects at the time the trust was developed after Pekalongan abandoned East Java to the Sanjaya dynasty in the tenth century AD ..

 Jlamprang pattern is the beneficiary of the cosmological culture is used as the connecting object to connect the underworld (the human world) the world over (the world's god-village or Prayangan). Motif Jlamprang as cosmic medium that has a mystical symbol must be the right tool and accepted by the world over (the world Hyang) and is referred to as its world Den Ayu Lanjar.


 Jlamprang dan Sejarahnya...
Batik dengan nama motif Jlamprang ini berasal dari daerah Pekalongan ( terkenal sebagai Kota Batik Dunia). Di Yogyakarta, motif serupa diberi nama Nitik. Motif Jlamprang merupakan salah satu batik yang cukup popular yang diproduksi di daerah Krapyak Pekalongan. Batik ini merupakan pengembangan dari motif kain Potola dari India yang berbentuk geometris kadang berbentuk bintang atau mata angin dan menggunakan ranting yang ujungnya berbentuk segi empat. Batik motif Jlamprang ini diabadikan menjadi salah satu jalan di Pekalongan. 

Pada saat pedagang dari Gujarat (India) datang di pantai utara Pulau Jawa, mereka membawa kain tenun dan bahan sutra khas Gujarat dalam barang dagangannya. Motif dan kain tersebut berbentuk geometris dan sangat indah, dibuat dengan teknik dobel ikat yang disebut patola (sembagi atau polikat) yang dikenal di Jawa sebagai kain cinde. Warna yang digunakan adalah merah dan biru indigo.


Motif kain patola memberi inspirasi para pembatik di daerah pesisir maupun pedalaman, bahkan lingkungan keraton. Di daerah Pekalongan tercipta kain batik yang disebut jlamprang, bermotif ceplok dengan warna khas Pekalongan. Terinspirasi dari motif tenunan, maka motif yang tercipta terdiri dari bujur sangkar dan persegi panjang yang disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan anyaman yang terdapat pada tenunan patola.



Kain batik jlamprang berkembang di daerah pesisir, sehingga warnanya pun bermacam-macam, sesuai selera konsumennya yang kebanyakan berasal dari Eropa, Cina, dan negara-negara lain. Warna yang dominan digunakan adalah rnerah, hijau, biru dan kuning, meskipun masih juga menggunakan warna soga dan wedelan.


Terdapat juga pendapat jika motif Jlamprang merupakan motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab karena pada umumnya orang Arab yang beragama Islam tidak mau menggunakan ornamen berbentuk benda hidup, misalnya binatang atau burung. Mereka lebih suka ragam hias yang berbentuk geometris. Didekat daerah Krapyak Pekalongan memang terdapat kampung Arab yang dinamakan Klego, ragam hias kotak-kotak persegi empat atau segitiga dan sejenisnya. Keindahan batik motif Jlamprang terletak pada ragam hiasnya yang menggambarkan konsistensi dan keajegan.



Batik motif Jlamprang adalah batik asli masyarakat Pekalongan sebagai pewaris kosmologis dengan mengetengahkan ragam hias ceplokan dalam bentuk lung-lungan dan bunga padma serta di tengahnya disilang dengan gambar peran dunia kosmis yang hadir sejak agama Hindu dan Budha berkembang di Jawa.

Pola ceplokan distilirasasi dalam bentuk dekoratif menunjukkan corak peninggalan masa prasejarah yang kemudian menjadi warisan dari agama Hindu dan Budha. Batik Jlamprang memiliki warna-warna yang cerah. Motif Jlamprang merupakan pengaruh kebudayaan Hindu Syiwa.


Pola ragam hias berupa pola dasar ceplokan berbentuk lunglungan dengan hias bunga padma ditengah pada motif jlamprang disinyalir merupakan corak yang diturunkan dari masa prasejarah, yang dikemudian waktu diadopsi oleh Budaya Hindu dan Budha. Di dalam ajaran Hindu Tantrayana, terdapat apa yang disebut Syaiwapaksa (senjata panah dewa Syiwa), yang menggunakan lambang cakra berupa panah, juga merupakan ikon meditasi Dewa Syiwa. Sementara bunga padma sendiri memiliki arti dalam kepercayaan Hindu-Budha sebagai perlambang kehidupan.

Jlamprang dan Mitosnya....
 Dalam mitologi ratu laut Jawa, batik Jlamprang disukai penguasa Laut Utara yaitu Den Ayu Lanjar / Dewi Lanjar ( Lanjar adalah Janda tanpa Anak ). Dalam kaitannya dengan batik Jlamprang sebagai medium ekspresi, batik tersebut dahulu telah dijadikan benda sakral (batik sakral). Pada masa lalu hingga saat ini, batik Jlamprang sudah menjadi batik profan (umum) dan tidak disakralkan lagi. Namun demikian, sebagian masyarakat Pekalongan masih menyertakan Batik Jlamprang sebagai bagian dari benda-benda upacara dalam upaya menjaga kelestarian budaya mistis yang berhubungan dengan upacara nyadran, yaitu upacara korban di laut untuk menyatakan syukur kepada penguasa alam (Tuhan). Menurut masyarakat Pekalongan, alat-alat dalam upacara tersebut termasuk batik motif Jlamprang dimaksudkan sebagai persembahan kepada Ratu Laut Den Ayu Lanjar. Hingga saat ini, Batik Jlamprang masih tetap diproduksi dengan kombinasi motif yang beragam.
 

Dalam kaitannya dengan penggunaan batik motif Jlamprang sebagai medium (benda upacara), secara kosmologis merupakan jalan menuju dunia atas (dunia para Dewa). Aliran Tantra adalah salah satu aliran pemujaan terhadap Dewa Syiwa dan masyarakat Pekalongan kuno menggunakan batik motif Jlamprang sebagai benda upacara pada saat kepercayaan itu berkembang setelah Pekalongan ditinggalkan Wangsa Sanjaya ke Jawa Timur pada abad X Masehi.

Batik motif Jlamprang adalah waris dari budaya kosmologis yang diapakai sebagai medium ekspresi untuk menghubungkan dunia bawah (dunia manusia) dengan dunia atas (dunia dewa-desa atau dunia Prayangan). Batik motif Jlamprang sebagai medium kosmis yang memiliki symbol mistis tentunya menjadi alat yang tepat dan diterima oleh dunia atas (dunia Hyang) dan disebut sebagai dunianya Den Ayu Lanjar.


No comments:

Post a Comment

SHARETHIS