Call Us : ( +62 ) 856 119 5711
every day 24 hour
Friday, 3 April 2015

Philospy of Batik Mega Mendung ( English and Indonesia )

Philospy of Batik Mega Mendung
Also posted in SellDress

Mega Mendung /  Cloud Overcast is one of Cirebon ( Indonesia ) batik motifs are best known by the audience. This motif depicting a set form clouds in the sky. It is said that according to the history of Cirebon, this motif is formed when one sees the form of clouds in puddles after the rain and the weather was cloudy. So someone was pouring his idea to draw a cloud that has been seen through the puddle to form a wavy cloud. Therefore, it becomes the motive Mega Mendung  ( Mega = clouds, Mendung = Overcast weather cool ) with basic colors red and blue clouds with seven shades as the famous original color of Cirebon.

 Meaning of motive Mega Mendung are clouds that appear when the weather is overcast. In addition to the meaning, motive Mega Mendung also have meaning or philosophy that every human being should be able to quell anger / emotions under any circumstances, in other words, the human heart is expected to remain 'cool' though in anger, like a cloud that appears when the weather overcast which can cool the surrounding atmosphere. Then the meaning of the color of batik Mega Clouds is a symbol of a leader and blue clouds as the nature of a leader who can protect the entire community must lead. Turning to the shades that are in the cloud ornaments, original gradation of batik Mega Mendung are seven gradations whose meaning is taken from the heavens which has 7 layers, as well as the earth which is composed of seven layers of the soil, and the number of days in a week for 7 days. Mega Overcast motif indeed seem simple, but this motif within the meaning / philosophy has.

With a growing era, this time color grading batik Mega Mendung has been adapted to the needs of the market. Thus, the gradation can be reduced or minimized to 3-5 gradation to order. In fact, there are also batik Mega Clouds are deliberately not given a motive shades on the cloud because of the demands required by the market.


Mega Mendung adalah salah satu motif batik khas Cirebon yang paling dikenal oleh khalayak. Motif ini menggambarkan bentuk sekumpulan awan di langit. Konon menurut sejarah Cirebon, motif ini terbentuk ketika seseorang melihat bentuk awan pada genangan air setelah hujan dan cuaca saat itu sedang mendung. Sehingga seseorang itu menuangkan idenya untuk menggambar awan yang telah di lihat melalui genangan air tersebut dengan bentuk awan yang bergelombang. Oleh sebab itu, terbentuklah motif Mega Mendung (Mega= Awan, Mendung=cuaca yang sejuk/adem) dengan warna dasar merah dan awan yang berwarna biru dengan tujuh gradasi warna sebagai warna orisinilnya yang terkenal dari Cirebon.

Arti dari motif Mega Mendung ialah awan yang muncul ketika cuaca sedang mendung. Selain arti, motif Mega Mendung juga memiliki makna atau filosofi bahwa setiap manusia harus mampu meredam amarah/emosinya dalam situasi dan kondisi apapun, dengan kata lain, hati manusia diharapkan bisa tetap ‘adem’ meskipun dalam keadaan marah, seperti halnya awan yang muncul saat cuaca mendung yang dapat menyejukkan suasana di sekitarnya. Kemudian makna dari warna batik Mega Mendung ini merupakan lambang dari seorang pemimpin dan awan biru sebagai sifat seorang pemimpin yang harus bisa mengayomi seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Beralih kepada gradasi warna yang berada di ornamen awannya, gradasi asli dari batik Mega Mendung ini adalah tujuh gradasi yang maknanya diambil dari lapisan langit yang memiliki 7 lapis, begitupun bumi yang tersusun atas 7 lapisan tanah, dan jumlah hari dalam seminggu  sebanyak 7  hari. Batik motif Mega Mendung memang nampak sederhana, akan tetapi motif ini dalam akan makna/ filosofi yang dimilikinya.

Seiring berkembangnya jaman, saat ini gradasi warna batik Mega Mendung telah disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Sehingga, gradasinya dapat dikurangi atau diminimalkan menjadi 3-5 gradasi sesuai pesanan. Bahkan sudah ada juga batik Mega Mendung yang sengaja tidak diberi gradasi warna pada motif awannya karena tuntutan yang dibutuhkan oleh pasar.



Monday, 30 March 2015

Philosphy of Batik Jlamprang ( English and Indonesia )

Philosphy of Batik Jlamprang ( English and Indonesia )

Jlamprang and the History
Batik pattern Jlamprang  is derived from Pekalongan ( famous as World City of Batik ) In Yogyakarta, a similar pattern named Nitik.. Jlamprang pattern is one that is quite popular batik produced in Krapyak Pekalongan. This is a development of batik fabric pattern from Indian Potola geometric shaped or star-shaped eyes sometimes wind and using the twig ends rectangular. Jlamprang pattern is immortalized as one of the streets in Pekalongan.

 At the time of traders from Gujarat (India) came on the north coast of Java, they brought silk fabrics and materials typical of Gujarat in merchandise. Motifs and geometric shape and the fabric is very beautiful, made with a technique called double ikat patola (sembagi or polikat), known in Java as cinde cloth. The colors used are red and indigo blue.

 Patola motifs inspired batik in coastal and inland areas, even the palace. In Pekalongan batik fabrics created called Jlamprang, patterned fried with distinctive colors Pekalongan. Inspired by woven pattern, the motif is created consisting of squares and rectangles are arranged such that describe woven webbing found on patola.

Jlamprang fabric developed in coastal areas, so that the colors also vary, according to taste consumers who mostly came from Europe, China, and other countries. The dominant color used is rnerah, green, blue and yellow, although still also use the color Soga and wedelan.

 There is also the opinion if pattern Jlamprang a batik pattern developed by Arabs for Arabs generally Moslems do not want to use ornaments shaped living objects, such as animals or birds. They prefer decorative geometric shape. There is an Arab vilage near Krapyak Pekalongan is Arab village called Klego, decorative rectangular boxes or triangles and the like. Beauty Jlamprang motif lies in the decoration that illustrates the consistency and constancy.

 Jlamprang pattern is original batik Pekalongan society as heir to the cosmological explores ceplokan ornaments in the form of scrolls and lotus flowers, and in the center is crossed by the image of the cosmic world role that comes from Hinduism and Buddhism developed in Java.

Distilirasasi ceplokan pattern in the form of decorative show patterns of prehistoric relics which later became the heritage of Hinduism and Buddhism. Jlamprang have bright colors. Jlamprang motif is Shiva Hindu cultural influence.

 Decorative pattern in the form of archetypal ceplokan lunglungan shaped with ornamental lotus pattern amid the Jlamprang allegedly a pattern derived from prehistoric times, the later time adopted by Hindu and Buddhist culture. In the Tantric Hinduism, there is what is called Syaiwapaksa (arrow weapon god Shiva), who uses chakra symbol in the form of arrows, is also a meditation icon of Lord Shiva. While the lotus flower itself has a meaning in Hindu-Buddhist beliefs as a symbol of life.

Jlamprang and myth ...

In mythology the queen of Java, preferred Jlamprang rulers of the North Sea is Den Ayu Lanjar / Dewi Lanjar ( lanjar is widow without children). In relation to Jlamprang as a medium of expression, the first batik has been used as a sacred object (sacred batik). In the past to the present, has become batik Jlamprang profane (general) and not sacred anymore. However, some people still include Batik Pekalongan Jlamprang as part of ceremonial objects in an effort to preserve the mystical culture associated with nyadran ceremony, which is a sacrifice in the sea to express gratitude to the ruler of nature (God). According to the people Pekalongan, the tools in the ceremony included motif Jlamprang intended as an offering to the Sea Queen Den Ayu Lanjar. Until now, Batik Jlamprang still produced with a combination of a variety of motives.

 In relation to the use of Pattern Jlamprang as ceremonial objects, cosmologically are on the road to the world (the world of the Gods). Tantric is one of the cult of the god Shiva and the community using the ancient Pekalongan batik pattern Jlamprang as ceremonial objects at the time the trust was developed after Pekalongan abandoned East Java to the Sanjaya dynasty in the tenth century AD ..

 Jlamprang pattern is the beneficiary of the cosmological culture is used as the connecting object to connect the underworld (the human world) the world over (the world's god-village or Prayangan). Motif Jlamprang as cosmic medium that has a mystical symbol must be the right tool and accepted by the world over (the world Hyang) and is referred to as its world Den Ayu Lanjar.


 Jlamprang dan Sejarahnya...
Batik dengan nama motif Jlamprang ini berasal dari daerah Pekalongan ( terkenal sebagai Kota Batik Dunia). Di Yogyakarta, motif serupa diberi nama Nitik. Motif Jlamprang merupakan salah satu batik yang cukup popular yang diproduksi di daerah Krapyak Pekalongan. Batik ini merupakan pengembangan dari motif kain Potola dari India yang berbentuk geometris kadang berbentuk bintang atau mata angin dan menggunakan ranting yang ujungnya berbentuk segi empat. Batik motif Jlamprang ini diabadikan menjadi salah satu jalan di Pekalongan. 

Pada saat pedagang dari Gujarat (India) datang di pantai utara Pulau Jawa, mereka membawa kain tenun dan bahan sutra khas Gujarat dalam barang dagangannya. Motif dan kain tersebut berbentuk geometris dan sangat indah, dibuat dengan teknik dobel ikat yang disebut patola (sembagi atau polikat) yang dikenal di Jawa sebagai kain cinde. Warna yang digunakan adalah merah dan biru indigo.


Motif kain patola memberi inspirasi para pembatik di daerah pesisir maupun pedalaman, bahkan lingkungan keraton. Di daerah Pekalongan tercipta kain batik yang disebut jlamprang, bermotif ceplok dengan warna khas Pekalongan. Terinspirasi dari motif tenunan, maka motif yang tercipta terdiri dari bujur sangkar dan persegi panjang yang disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan anyaman yang terdapat pada tenunan patola.



Kain batik jlamprang berkembang di daerah pesisir, sehingga warnanya pun bermacam-macam, sesuai selera konsumennya yang kebanyakan berasal dari Eropa, Cina, dan negara-negara lain. Warna yang dominan digunakan adalah rnerah, hijau, biru dan kuning, meskipun masih juga menggunakan warna soga dan wedelan.


Terdapat juga pendapat jika motif Jlamprang merupakan motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab karena pada umumnya orang Arab yang beragama Islam tidak mau menggunakan ornamen berbentuk benda hidup, misalnya binatang atau burung. Mereka lebih suka ragam hias yang berbentuk geometris. Didekat daerah Krapyak Pekalongan memang terdapat kampung Arab yang dinamakan Klego, ragam hias kotak-kotak persegi empat atau segitiga dan sejenisnya. Keindahan batik motif Jlamprang terletak pada ragam hiasnya yang menggambarkan konsistensi dan keajegan.



Batik motif Jlamprang adalah batik asli masyarakat Pekalongan sebagai pewaris kosmologis dengan mengetengahkan ragam hias ceplokan dalam bentuk lung-lungan dan bunga padma serta di tengahnya disilang dengan gambar peran dunia kosmis yang hadir sejak agama Hindu dan Budha berkembang di Jawa.

Pola ceplokan distilirasasi dalam bentuk dekoratif menunjukkan corak peninggalan masa prasejarah yang kemudian menjadi warisan dari agama Hindu dan Budha. Batik Jlamprang memiliki warna-warna yang cerah. Motif Jlamprang merupakan pengaruh kebudayaan Hindu Syiwa.


Pola ragam hias berupa pola dasar ceplokan berbentuk lunglungan dengan hias bunga padma ditengah pada motif jlamprang disinyalir merupakan corak yang diturunkan dari masa prasejarah, yang dikemudian waktu diadopsi oleh Budaya Hindu dan Budha. Di dalam ajaran Hindu Tantrayana, terdapat apa yang disebut Syaiwapaksa (senjata panah dewa Syiwa), yang menggunakan lambang cakra berupa panah, juga merupakan ikon meditasi Dewa Syiwa. Sementara bunga padma sendiri memiliki arti dalam kepercayaan Hindu-Budha sebagai perlambang kehidupan.

Jlamprang dan Mitosnya....
 Dalam mitologi ratu laut Jawa, batik Jlamprang disukai penguasa Laut Utara yaitu Den Ayu Lanjar / Dewi Lanjar ( Lanjar adalah Janda tanpa Anak ). Dalam kaitannya dengan batik Jlamprang sebagai medium ekspresi, batik tersebut dahulu telah dijadikan benda sakral (batik sakral). Pada masa lalu hingga saat ini, batik Jlamprang sudah menjadi batik profan (umum) dan tidak disakralkan lagi. Namun demikian, sebagian masyarakat Pekalongan masih menyertakan Batik Jlamprang sebagai bagian dari benda-benda upacara dalam upaya menjaga kelestarian budaya mistis yang berhubungan dengan upacara nyadran, yaitu upacara korban di laut untuk menyatakan syukur kepada penguasa alam (Tuhan). Menurut masyarakat Pekalongan, alat-alat dalam upacara tersebut termasuk batik motif Jlamprang dimaksudkan sebagai persembahan kepada Ratu Laut Den Ayu Lanjar. Hingga saat ini, Batik Jlamprang masih tetap diproduksi dengan kombinasi motif yang beragam.
 

Dalam kaitannya dengan penggunaan batik motif Jlamprang sebagai medium (benda upacara), secara kosmologis merupakan jalan menuju dunia atas (dunia para Dewa). Aliran Tantra adalah salah satu aliran pemujaan terhadap Dewa Syiwa dan masyarakat Pekalongan kuno menggunakan batik motif Jlamprang sebagai benda upacara pada saat kepercayaan itu berkembang setelah Pekalongan ditinggalkan Wangsa Sanjaya ke Jawa Timur pada abad X Masehi.

Batik motif Jlamprang adalah waris dari budaya kosmologis yang diapakai sebagai medium ekspresi untuk menghubungkan dunia bawah (dunia manusia) dengan dunia atas (dunia dewa-desa atau dunia Prayangan). Batik motif Jlamprang sebagai medium kosmis yang memiliki symbol mistis tentunya menjadi alat yang tepat dan diterima oleh dunia atas (dunia Hyang) dan disebut sebagai dunianya Den Ayu Lanjar.


Sunday, 29 March 2015

Batik Parang Philosphy ( English and Indonesia )

Batik Parang Philosophy

Also Posted in SellDress

Meaning of Batik Parang ( English )
Parang motif identical to the grooved tilted 45 degrees. Composition tilted at a machete signifies strength and fast motion. Which is believed to give magical powers on patterned batik parang it is mlinjon, separator skewed composition is shaped like a diamond.
The style machete ( parang ) sword patterned indicates the strength or power. In earlier times patterned batik parang usually reserved only warriors and rulers. According to belief, style machete must dibatik without one so as not to deprive his magical powers.
Parang batik motif is basically quite simple, such as winding the letter S which intertwine to form a diagonal line with a slope of 45 degrees. The composition of the letter S motif intertwine symbolize unbroken continuity. The basic form letter S is taken from ocean waves that describe the spirit never dies.

Makna Motif Batik Parang ( Indonesia )
Motif Parang identik dengan beralur miring 45 derajat. Komposisi miring pada parang menandakan kekuatan dan gerak cepat. Yang dipercaya memberi kekuatan magis pada batik bercorak parang itu adalah mlinjon, pemisah komposisi miring berbentuk seperti ketupat.
Corak parang berpola pedang menunjukkan kekuatan atau kekuasaan. Pada jaman dulu batik bercorak parang biasanya hanya diperuntukkan para ksatria dan penguasa. Menurut kepercayaan, corak parang harus dibatik tanpa salah agar tak menghilangkan kekuatan gaibnya.
Motif batik parang pada dasarnya tergolong sederhana, berupa lilitan huruf S yang jalin-menjalin membentuk garis diagonal dengan kemiringan 45 derajat. Susunan motif huruf S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar huruf S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam.